Senin, 10 Februari 2014

Kampung Naga Tasikmalaya.



Helloo,,
Februari ini saya punya cerita perjalanan ke Kampung Naga tepatnya di Tasikmalaya.
dalam rangka mengambil nilai Ujian Akhir Semester dengan mata kuliah Lintas Budaya, yg sebelumnya kami berencana ke Jogjakarta di cancel menjadi ke tasikmalaya.
 kampung Naga berada di Desa Neglasari Kec.Saluwu Kab.Tasikmalaya.


Kampung Naga adalah kampung adat yang masih sangat lestari. Masyarakatnya masih memegang adat tradisi nenek moyang mereka. Mereka menolak intervensi dari pihak luar jika hal itu mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut. Namun, asal mula kampung ini sendiri tidak memiliki titik terang. Tak ada kejelasan sejarah, kapan dan siapa pendiri serta apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung dengan budaya yang masih kuat ini.


Kampung Naga salah satu contoh bentuk respons manusia terhadap alam lingkungan, melahirkan kekhasan kewilayahan, yang menjadi suatu perkampungan yang dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya, dalam hal ini adalah adat Sunda.

Jarak tempuh dari Kota Tasikmalaya ke Kampung Naga sekitar 30 Km,sedangkan dari Kota Garut jaraknya + 26 KM. Untuk mencapai perkampungan ini tidaklah terlalu sulit. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni anak tangga (439 anak tangga) sampai ketepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 400-500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai kedalam Kampung Naga.

Penduduk yang menghuni kampung ini sekarang berjumlah 314 orang yang terbagi dalam 109 Kepala Keluarga (KK).
Tingkat Pendidikan masyarakat Kampung Naga mayoritas hanya mencapai jenjang pendidikan sekolah dasar 6 tahun, karena keterbatasan biaya tapi adapula yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi itupun hanya minoritas.
Pekerjaan pokok masyarakat Kampung Naga adalah sebagai petani. Masyarakat Kampung Naga ini mempunyai mata pencaharian sampingan, yakni membuat kerajinan tangan atau barang anyaman dari bambu.
Adanya kolam, leuit, pancuran, saung lisung, rumah kuncen, bale, rumah suci, dan sebagainya, menunjukkan ciri-ciri pola perkampungan Sunda. Demikian juga bentuk rumahnya.


Di dalam Kampung Naga yang luasnya sekitar 1,5 hektar ini, terdapat 112 bangunan ( awalnya 11 kemudian ditambah 1 bangunan lagi karena ada warga yang tadinya tinggal di luar, kembali lagi dan menetap di kampung ini ), dengan rincian 4 bangunan khusus dan 110 bangunan permukiman.
Pola pemukiman Kampung Naga merupakan pola mengelompok yang disesuaikan dengan keadaan tanah yang ada dengan sebuah lahan kosong (lapang) di tengah-tengah kampung.





Kampung ini menolak aliran listrik dari pemerintah, karena semua bangunan penduduk menggunakan bahan kayu dan injuk yang mudah terbakar dan mereka khawatir akan terjadi kebakaran.









Seperti kebanyakan kampung adat lainnya, masyarakat kampung naga juga memiliki aturan hukum sendiri yang  tak tertulis namun masyarakat sangat patuh akan keberadaan aturan tersebut. Kampung Naga memang memiliki Larangan namun tidak memiliki banyak aturan. Prinsip yang mereka anut adalah Larangan, Wasiat dan Akibat.

Sistem hukum di kampung Naga hanya berlandaskan kepada kata pamali, yakni sesuatu ketentuan yang telah di tentukan oleh nenek moyang Kampung Naga yang tidak boleh di langgar. Sanksi untuk pelanggaran yang dilakukan tidaklah jelas, mungkin hanyalah berupa teguran, karena masyarakat Sanaga memegang prinsip bahwa siapa yang melakukan pelanggaran maka dia sendiri yang akan menerima akibatnya.

Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya.pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah,pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya.


Penduduk Kampung Naga Mengaku mayoritas adalah pemeluk agama islam, akan tetapi sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang adat-istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya.
Masyarakat Kampung Naga pun masih mempercayai akan takhayul mengenai adannya makhluk gaib yang mengisi tempat – tempat tertentu yang dianggap angker.
Kepercayaan masyarakat Kampung Naga kepada mahluk halus masih dipegang kuat. Percaya adanya jurig cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama bagian sungai yang dalam (“leuwi”). Kemudian “ririwa” yaitu mahluk halus yang senang mengganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam hari, ada pula yang disebut “kunti anak” yaitu mahluk halus yang berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia, ia suka mengganggu wanita yang sedang atau akan melahirkan. Sedangkan tempat-tempat yang dijadikan tempat tinggal mahluk halus tersebut oleh masyarakat Kampung Naga disebut sebagai tempat yang angker atau sanget. Demikian juga tempat-tempat seperti makam Sembah Eyang Singaparna, Bumi ageung dan masjid merupakan tempat yang dipandang suci bagi masyarakat Kampung Naga  .


Kampung Naga sebaiknya dapat di jadikan aset wisata di Jawa Barat yang berhubungan dengan Budaya.Adat istiadat kampung Naga harus dihargai pemerintah, agar dipandang oleh dunia, karena jarang kampung-kampung di Indonesia yang masih menjaga keutuhan dari budaya yang di turunkan leluhurnya.Serta patut dijadikan percontohan dalam penataan lingkungan permukiman.Mengarahkan masyarakat kampung naga agar mau bersekolah.

 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar